![]() |
Ikon baru Pasar Beringharji. (dok. pribadi) |
Berkunjung ke Jogja, tak lengkap rasanya jika tak menyempatkan waktu untuk
menengok salah satu ikon fenomenal ini. Pasar Beringharjo. Pasar tradisional
yang terus bersolek untuk menyambut para pedagang, pembeli, atau pengunjung
yang sekedar pingin narsis di sana-sini. Sebagaimana halnya, kami yang mencoba
mengeksplor sisi lain yang tidak biasa.
Sengaja hadir untuk melihat ‘nafas kehidupan’ pasar dimulai. Jam tujuh
pagi, cukuplah bagi kami, saya dan putri sulung saya. Mengenalkan eksotisme
Pasar Beringharjo sebagai salah cagar budaya yang tak boleh terlewatkan sebagai
‘Wong Yogja’. Jika ulang tahun biasanya dirayakan dengan sebuah perayaan atau
ucapan khusus, maka tidak demikian dengan keluarga kami.
![]() |
Bangunan lama sebagai cagar budaya. (dok. pribadi) |
Nah, kami punya cara khusus untuk ‘merayakan’. Yaitu mengisi waktu dengan
belajar. Sebab setiap pertambahan usia detik demi detik sudah seharusnya
menjadi sesuatu yang berarti. Sesuatu yang memberikan manfaat kepada siapa
saja. Seperti pagi kemarin yang kami coba untuk lebih dekat dengan para pedagang yang menyiapkan diri membuka
gerai/tokonya.
![]() |
BH 50 ribu dapat 3 ada di sini lho. (dok. pribadi) |
Berdagang adalah denyut nafas kehidupan keluarga kami. Maka tak heran jika
si sulung kami pun telah merintis jualan ‘kecil-kecilan’ di dalam lingkungan
pesantren. Meski sempat sekali ‘tertangkap basah’ melakukan transaksi yang
berakibat harus dihukum. Yups,
peraturan di pesantren memang ketat untuk urusan jual beli. Sebab sudah ada
warung/toko pesantren untuk melakukan transaksi jual beli.
Oh ya, Pasar Beringharjo ini sudah beberapa kali mengalami renovasi dan
rehabilitasi. Baik pada bangunan utama (gerbang dan bangunan awal), hingga
penambahan gedung/blok baru di bagian belakang. Pasar yang dibangun mulai Maret
1925 dan selesai pada akhir Agustus 1925 ini pada awalnya adalah sebuah ‘pasar
krempyeng’. Dimana para pedagang menggelar dagangannya di tanah di sekitaran halaman
yang banyak tumbuh pohon beringin, tak lama setelah berdirinya Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat (1758).
Nama “Beringharjo”
diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Beringharjo yang berarti hutang
beringin (Bering) yang bisa memberikan kesejahteraan (harjo) kepada rakyatnya.
Alhamdulillah, sampai saat ini nama tersebut dapat memberikan berkah kepada
para pedagang, pembeli, maupun pengunjungnya. Puluhan milyar rupiah transaksi
yang berputar tiap minggunya. Dua blok bangunan yang penuh (sesak) dengan para
pedagang dan pengunjung hampir tak pernah sepi. Terutama di bagian stan batik
maupun kebutuhan sembako.
![]() |
'Pemadam kelaparan' ada di blok II. (dok. pribadi) |
Penjual
mulai usia belasan tahun hingga kakek/nenek yang berusia 80-an tahun ke atas
banyak kita jumpai di sini. Gambaran utuh masyarakat Jogja yang pantang
menyerah terhadap nasib dan usia. Hal ini sekaligus menjadi daya tarik bagi
para penulis maupun fotografer untuk mengabadikan setiap jengkal ‘harapan hidup’
yang ada di dalamnya. Pasar Beringharjo yang memberi banyak pelajaran bagi
siapapun yang mau belajar di sana. Seperti halnya sulung kami yang akhirnya
memiliki keinginan untuk membeli ‘satu stan saja’ di lantai 2, blok
pakaian/busana.
![]() |
Bagus lho untuk narsis... (dok. pribadi) |
Nah,
beberapa bingkai yang sempat kami ambil pada sudut-sudut ‘tak lazim’ dengan
kualitas gambar seadanya. Semoga dapat memberi inspirasi untuk siapa saja yang
belum sempat mengukur jarak antara gerbang depan hingga gerbang belakang.
Karena semua orang bebas berpendapat, maka mohon komentar yang positif dan membangun. Jangan nyepam, plis. Kasihan yang mau komentar beneran. Matur nuwun atas pengertiannya ya.
EmoticonEmoticon