![]() |
Silfi yang tetap optimis meski nyeri itu selalu tak mau enyah. (foto dokpri) |
“Bukanlah kesabaran jika masih mempunyai batas. Bukan pula keikhlasan jika masih merasa sakit.”
Sebuah
kalimat bijak yang kini harus dijalani oleh ananda Silfi. Nama panggilan dari
Silfi Qumairo. Yang kini hanya bisa berbaring lemah. Atau terpaksa duduk karena
terlalu lelah berbaring.
Tak
nampak lagi senyum ceria di bibir gadis kecil ini. Karena kanker stadium ke-4
telah menggerogoti kekuatan senyum itu. Kecuali saat kamu mencoba untuk
mengajaknya bergembira. Bercerita tentang sekolah. Atau harapan bahwa Allah Ta’ala
akan memberikan hadiah yang indah.
Awal
April 2019. Menjadi permulaan penderitaan gadis yang lahir 14 tahun yang lalu.
Saat jatuh di sekolah dan mendapat luka. Karena keterbatasan pengetahuan. Luka
itu dianggap biasa saja.
Hanya
pergi ke tukang pijat. Demikian Mbak Faizun, ibunda Silfi, bercerita kepada
saya. Hingga luka itu terasa nyeri dan mengganggu. Barulah sang ayah membawanya
ke Puskesmas Brangkal.
Sempat
menjalani rawat inap. Namun akhirnya harus dirujuk ke RSI Sakinah Mojokerto. Karena
kondisi tak berangsur membaik. Pun
demikian yang terjadi di rumah sakit tersebut. Ternyata harus dirujuk ke RSUP
Dr. Soetomo Surabaya.
Hari
terus berjalan. Gadis kecil pendiam ini masih saja bersemangat. Mencoba
menjalani ujian akhir sekolah kelas dua-nya. Berharap bahwa hidup akan tetap
baik-baik saja. Meski kenyataannya tidaklah demikian.
Hanya
mampu menyelesaikan hari ke-2 saja. Rasa nyeri tak terperi dari lututnya yang
kian membesar. Rupanya kanker yang menggerogoti lewat luka itu tak mau diam.
Memaksa keduaorangtuanya untuk berjibaku. Pun dengan tetangga sekitarnya yang
tak tinggal diam. Biaya mondar-mandir Mojokerto – Surabaya tentulah tak kecil.
Sebagai
seorang kuli bangunan. Moh Gozali tentu merasakan kekhawatiran tak terperihkan.
Ingin segera menyembuhkan sang puteri. Sementara di sisi lain, kondisi
ekonominya membuatnya serba salah. Ini juga yang sempat disesalkan oleh salah
seorang tokoh masyarakat setempat. Beliau berpikir bahwa sakitnya Silfi
biasa-biasa saja.
Hingga
beliau ‘tak tahan’ untuk berbagi info lewat sebuah WA grup warga desa. Sontak
hal ini membuat kami kaget. Seorang puteri warga Desa Kedungmaling RT10/RW04
menderita kanker stadium IV. Demikian kami mengenalnya. Meski diagnosa tepatnya
adalah: malignant neoplasm of bone and articular cartilage.
Saat
ini ananda Silfi masih dirawat di rumah. Telah menjalani paket kemoterapi dan
scan MRI. Yang hasilnya kemungkinan baru disampaikan akhir minggu ini. Bersyukur bahwa pemerintah lewat BPJS Kesehatan (BPI) telah menutup semua biaya perawatan.
Ada
yang membuat saya gembira. Silfi nampak kuat. Meski erangan dan tangisan
menyelingi. Dia mengangguk pasti saat saya tanya tentang tindakan medis
berikutnya.
Justeru
sayalah yang harus kuat. Agar bulir-bulir bening tak jatuh dari kelopak mata
saya. Amputasi. Sebuah kata yang seolah mengiris-iris hati saya. Dan gadis ini
tahu. Bahwa itulah yang akan dihadapinya. Astaghfirullah...
Sambil
menunggu proses operasi. Kami telah mencoba menghubungi 2 buah rumah singgah di
Surabaya. Alhamdulillah, mereka siap menampung kami kapan saja. Pra sampai
dengan pasca operasi. Maklumlah, kondisi badan Silfi harus dijaga selalu.
Kami
juga mencoba meyakinkankan sang ayah. Bahwa kami tak akan tinggal diam.
Berusaha seoptimal mungkin untuk mendukung kesembuhan sang anak. Pun saya yakin
dengan para pembaca tulisan saya ini.
----
Mojokerto, 19 September 2019 ----
Karena semua orang bebas berpendapat, maka mohon komentar yang positif dan membangun. Jangan nyepam, plis. Kasihan yang mau komentar beneran. Matur nuwun atas pengertiannya ya.
EmoticonEmoticon