“Bi, maaf ya. Kayaknya
Ana gak dapat ranking kali ini.”
“Kenapa, Mbak?” tanyaku
santai.
“Ada tiga pelajaran yang
kurang meyakinkan. Nilainya maksudku,” ucapnya sambil mempermainkan jari-jari
tanganku. Kebiasaan sedari kecil. Saat dia ingin bercerita kepadaku.
“Gak apa-apa. Gak usah
terlalu dipikirkan! Yang penting, Mbak Ana paham dengan apa yang sudah
dipelajari. Itu sudah lebih cukup bagi abi,” aku pun mencoba menghiburnya.
Puteri ke-tiga kami yang galau memikirkan ranking kelasnya.
Satu hal yang sebenarnya
tak terlalu saya permasalahkan. Meski sedikit berbeda dengan isteriku. Umminya
tetap berharap, Ana mendapatkan peringkat terbaiknya. Seperti kakak-kakaknya.
Standar tinggi telah
dibuat oleh mbak dan mas-nya. Tak pernah lepas dari ranking tiga. Sejak bersekolah
secara ‘normal’. Sekolah yang benar-benar sekolah. Dengan kurikulum yang
direkomendasikan oleh Kemendiknas maupun Kemenang.
Menempuh pendidikan
sekolah dasar di ponpes tahfiz Al-Qur’an. Bagi kami merupakan hal yang amat
penting. Memberikan pondasi yang kuat bagi masa depannya. Meski kata Mendiknas,
Nabil Makarim, pelajaran menghafal tidaklah penting. Emangnye gue pikirin, kata orang Betawi.
Meletakkan pondasi agama
dalam kehidupan kami adalah hal yang utama. Menghafal Al-Qur’an (dan
hadis-hadis pilihan) menjadi kurikulum wajib yang kami jalankan. Sebagaimana
manusia panutan kami memberikan contoh. Manusia terbaik yang pernah di hadirkan
Allah Ta’ala di muka bumi ini.
Alhamdulillah, selepas
madrasah ‘ula atau madrasah ibtida’iyah, anak-anak telah memiliki hafalan
Al-Qur’an yang baik. Lewat hafalan itu pula berbagai prestasi telah ditorehkan.
Satu hal yang menjadikan kami bersyukur. Bahwa tak akan ada yang sia-sia. Bila
segala sesuatu dikerjakan dengan niat yang luruh. Ditambah dengan usaha yang
keras.
Hal ini terkadang
sedikit melenakan. Berpikir bahwa anak-anak harus menjadi yang terbaik. Menjadi
pemilik peringkat tinggi di kelompok belajarnya. Satu hal yang kami anggap
wajar. Meskipun saya menganggapnya tak terlalu penting.
Beda pemikiran saya
dengan anak-anak. Justeru karena terbiasa menetapkan target (tinggi). Mereka
akan kecewa bila targetnya tak terpenuhi. Di satu sisi ada baiknya. Dimana
mereka akan berusaha belajar dengan keras. Sementara sisi buruknya adalah
kecewa. Meski hal tersebut sebenarnya cukup manusiawi. Di sinilah saya
menempatkan diri sebagai penghibur mereka.
Pun kali ini. Ternyata
benar. Ana tak mendapatkan juara umum. ‘Hanya’ peringkat tertinggi di kelasnya.
Bagi kami hal ini sudah luar biasa. Enam bulan belajar keras. Jauh dari rumah
dan orangtuanya.
Mandiri sejak usia dini.
Memasuki usia tujuh tahun sudah berpisah. Ratusan kilo meter jarak yang kami
tempuh untuk melepas rindu. Pondok pesantren menjadi rumah ke-duanya. Yang
sering menjadi bahan guyonan diantara kita. Saat di ponpes ingin segera pulang.
Saat di rumah bosan, ingin segera balik ke ponpes. Hehehe...
Seni kehidupan telah
kami ajarkan sejak usia dini. Sebagaimana para pencari ilmu di masa salafus salih. Menempuh jarak ratusan,
bahkan ribuan kilo meter untuk mencari ilmu. Tanpa mengenal lelah. Apalagi
berkeluh-kesah. Semata-mata mencari ridha Illahi Rabbi.
Oleh karenanya, ranking
bukanlah segala-galanya. Ranking terbaik di akhirat itulah yang menjadi tujuan
utamanya. Sedangkan ranking di dunia menjadi hiburan. Hadiah atas kerja keras
yang telah dilakukan dalam periode tertentu.
Selamat ya, Nak. Berapa pun rankingmu. Kalian tetap yang terbaik bagi kami.
Karena semua orang bebas berpendapat, maka mohon komentar yang positif dan membangun. Jangan nyepam, plis. Kasihan yang mau komentar beneran. Matur nuwun atas pengertiannya ya.
EmoticonEmoticon