Eh, maaf
kelupaan. Karena kenyang plus ada urusan di tengah jalan. Sambungan curcolkemarin baru bisa aku pos hari ini.
Dikacangin.
Rasanya sakit banget bukan? Ya iyalah. Namanya juga manusia. Mana ada sih
manusia yang mau disepelekan atau direndahkan oleh manusia yang lain?
Begitulah dula
saya berpikir. Pengalaman hidup sudah mengajarkan banyak hal. Ego kita
serigkali mengalahkan akal kita. Padahal manusia dikaruniai Allah Ta’ala dengan
akal. Ini yang membedakan dengan mahlukNya yang lain.
Dengan akal
kita menimbang. Dengan akal kita mengukur. Seberat apa rasa sakit yang kita
rasakan. Sejauh apa efek yang menimpa kita atas perbuatan kita. Di situlah
seharusnya ada titik balik atas keegoisan kita. Pun dengan penulis.
Hidup berpuluh
tahun. Berbagai peran pekerjaan telah dilewatkan. Suka dan duka telah dilalui.
Sehat dan sakit telah dialami. Dihargai dan dikacangin datang silih berganti.
Seperti datangnya siang dan malam.
Hingga pada satu kesimpulan: mau ngacangin, kacangin aja!
Aku tetap
berikhtiar untuk bekerja secara profesional dan proporsional. Tetap bekerja
dengan hasil yang terbaik. Kerja dibayar maupun kerja sosial. Toh, semuanya
akan kembali pada diriku. Atau keluargaku. Jika aku berbuat baik, tentu buah
baik yang aku petik. Demikian sebaliknya. Simpel saja.
Jikalau merasa
tidak cocok, tinggal bilang. Jika tak ditanggapi dengan baik, easy going sajalah. Jika tak kuat jalan,
tinggal berhenti saja. Karena yang bisa menakar kekuatanmu adalah dirimu
sendiri.
Dikacangin
adalah proses untuk mendewasakan dirimu. Ambil nilai positifnya. Meski
terkadang terasa amat sesak di awalnya. Berat untuk menerima keadaan yang sudah
terjadi.
Wis ngunu wae
ya. Ini sudah mau sarapan dulu. Hahaha….
Karena semua orang bebas berpendapat, maka mohon komentar yang positif dan membangun. Jangan nyepam, plis. Kasihan yang mau komentar beneran. Matur nuwun atas pengertiannya ya.
EmoticonEmoticon